Selasa, 02 November 2010

oh Pak Bakri

ngin bertiup ke selatan…
Cuaca teduh, jalan raya Porong yang tak pernah tidur berlari menyambut fajar. Matahari naik sepenggalah, udara di musim kemarau tahun ini terasa mengukus suhu tubuh. Siang nanti, jalan yang menghubungkan Surabaya dan Malang ini pasti makin sesak dilalulalang kendaraan. Nyaris tak ada yang menyangka, di jalan ini, akan melintas pula prahara yang mengguncang belahan timur Pulau Jawa. Prahara itu muncul berupa lumpur yang bermunceratan dari perut bumi.
“Tanah dekat lokasi pengeboran menyemburkan lumpur.” Ujar Diayu.
Tanur, anak sematawayangnya, tersentak mendengar kabar itu. Angin pun meniup bau tak sedap, aromanya menyengat, seolah gas belerang dari kawah Jero dan Plupuh di puncak gunung Welirang muntah berduyun-duyun menyerbu kampung-kampung di lembah Porong.
“Apa penyebabnya, Bu?”
Diayu berdiri kelu, ia hanya memberi jawaban dengan sebisanya menggelengkan kepala. Wajahnya makin lugu dan pasrah, kelopak matanya mengisyaratkan beban. Tanur masih menahan diri dan menunggu ibunya menerangkan ihwal prahara itu.
“Bau menyengat yang kita hirup sejak kemaren ternyata berasal dari gas yang dikandung lumpur itu.”
Diayu menerangkan ihwal prahara itu panjang lebar. Mendengar tutur ibunya, nur wajah belia Tanur redup, otak mungil di batok kepalanya tak serta-merta mampu mencerna, ada apa gerangan sehingga lumpur tiba-tiba menyembur seperti air mancur.
“Kenapa tidak disumbat?”
Diayu kembali menggelengkan kepala, ia menjawab seadanya.
“Semburannya malahan makin menjadi.”
Semburan lumpur itu memang perkasa, marabahaya yang timbul dari geliatnya sangat mengancam. Geloranya dahsyat, mengesankan gelegar kemurkaan yang hebat. Pasti ia sanggup meluluhlantakkan makhluk dan benda yang dijumpainya dalam sekejap. Diayu dan Tanur bagai hanya menanti rubuhnya tiang-tiang rumah mereka. Terlebih karena sudah santer kabar, bahwa tanggul tanggap darurat yang dibangun untuk membendung luapan lumpur itu, goyah. Bola-bola benton raksasa yang diperuntukkan merekayasa tekanan dan memperkecil permukaan semburannya juga sudah tak berdaya.
“Ada yang menyangka perusahaan pak Bakrie itu penyebabnya.”
“Perusahaan, pak Bakrie?”
“Ya, perusahaan yang mengebor gas di sekitar kampung kita.”
Diayu kemudian berpaling. Ia beranjak ke dapur. Tanur menerawang seorang diri, senyumnya menyembul kecut menatap langit-langit rumahnya yang tanpa plafon, tampaklah sarang laba-laba membelukari rangka atap rumah itu.
Sementara luapan lumpur terus merayapi dinding tanggul, memusar, beriak, laksana ombak dilempit arus. Jelas tampak kalau gerakan lumpur itu terus mendesak, menerabas lapisan tanggul yang mengurungnya. Seolah ia tak mau diredam, enggan dihalang. Langkahnya makin susah dihalau. Lumpur panas, ganas, dan memancur makin deras itu benar-benar membuat koorporasi raksasa bernama Lapindo Brantas limbung.
Di hari tragis itu, Lapindo Brantas tak ubah gajah Abrahah yang tiba-tiba dihadang burung-burung aneh, muncul tak terduga dalam jumlah tak terbilang, dan sekonyong-konyong melempari dengan gumpalan-gumpalan lumpur yang seolah berasal dari jurang neraka. Aktivitas pengeboran Lapindo Brantas sudah terhenti sebelum lumpur itu menyembur, sebab mata bornya patah dikedalaman tanah beribu-ribu kaki.
“Baru kemaren rasanya ratusan ribu nyawa melayang oleh gelombang tsunami di Aceh, sekarang menyembur lumpur aneh di kampungku. Rasanya negeri ini sudah dikepung bencana.” Gumam Diayu, sambil menata piring-piring di hadapannya.
Seminggu kemudian tanggul jebol, lumpur yang meluap dari tanggul merembes dengan cepat, menyebar ke kampung-kampung di sekitarnya. Dalam sekejap, kampung-kampung di Porong yang berdekatan dengan Renokenongo seperti Siring, Kedungbendo, Jatirejo, karam. Seolah segala hidup akan terbenam ke perut bumi. Manusia berserakan seumpama buih, lari mengungsi.
Apa hendak di kata, meskipun para korban prahara itu selamat dari amuk lumpur, namun tanah, rumah, sekolah, tempat ibadah, dan seluruh harta benda mereka musnah. Mereka kehilangan begitu banyak hal yang menyejarah dalam kehidupan mereka. Siapa yang bisa membayangkan getirnya, jika keindahan alam nan bersahaja bagi mereka yang mendiaminya terampas secara paksa dan tiba-tiba. Diayu dan Tanur pun tak pernah membayangkan hal itu, akan kehilangan lebih dari sepetak tanah dan rumah mereka. Dan, tak pernah menduga sampai kehilangan kampung halaman.
Di kampung-kampung yang telah ditinggalkan itu, tak ada lagi senda yang singgah. Riuh-rendah suara yang biasa bercengkerama di pekarangan rumah-rumah idaman mereka, lesap. Harmoni alam dan manusia menguap entah kemana. Ada pula orang yang tanpa sengaja tergelincir, jatuh tersungkur ke dalam kubangan lumpur. Sementara udara kotor yang ditebar lumpur sudah merontokkan nyawa. Seorang warga tiba-tiba diserang sesak nafas karena tak tahan dikekang bau lumpur yang mengandung gas menyengat itu. Ia pun terkulai kaku, tubuhnya membeku untuk selamanya.
Inilah awal dari sebuah tragedi besar. Ekspansi alamiah dan penaklukan sistematis yang paling dramatis. Kegundahan begitu tampak di wajah Diayu dan Tanur.
Hari-hari berikutnya kehancuran semakin hebat. Gedung sekolah satu per satu poranda. Anak-anak didik terbengkalai. Mereka telah menjadi anak-anak lumpur, sekolah di lumpur, berguru kepada lumpur. Catatan harian yang memenuhi buku-buku tulis mereka seolah hanya lumpur.
Anak-anak sebaya Tanur hanya mampu membetik rasa heran ditingkah tangis yang menderai di kelopak mata jenaka mereka. Mengapa kampung kami begitu mudah terampas?
Genosida yang sempurna melalui media lumpur itu tak hanya memukul harapan, menaklukkan gairah, tapi juga membekukan aliran darah. Tanah-tanah tetirah karam. Kampung-kampung yang dihuni ribuan manusia itu hanya menyisa jejak duka mahaharu yang tak terperikan. Benar-benar tak ada yang menyangka, jika segala kehidupan di kampung mereka akan berubah wujud dalam sekejap menjadi telaga lumpur.
Akibat semburan lumpur yang kian membabi buta, semilir angin yang sejuk telah menjelma hantu kotor. Tiap hembusannya adalah ancaman. Segenap tanah dan rumah yang ia genangi adalah tumpahan airmata.
Meskipun literasi ilmu dan teknologi sudah dibongkar untuk mencari tahu alat peredam semburan lumpur, para ilmuan dikerahkan dalam segala daya upaya dengan pengetahuan mutakhir di kepala mereka, tak lain untuk menemukan metoda kompromi dengan lumpur, atau cara berunding yang paling mungkin menjinakkannya.
Namun, semburan lumpur itu seperti tak bisa lagi dihentikan. Prosesnya mungkin akan sepanjang usia manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar